Tidak hanya pasar modal yang terkena badai efek tarif impor resiprokal, upaya transisi energi juga mendapatkan hambatan baru.
Sebenarnya, arah angin transisi energi sudah mencari titik baru setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden ke-47 AS. Apalagi setelah Trump mengumumkan kalau Negeri Paman Sam angkat koper dari Perjanjian Paris.
Tidak sampai di situ, Trump kembali menepati janjinya untuk menetapkan tarif impor resiprokal ke 185 negara. Bukan hanya China, Uni Eropa, tetapi juga Indonesia.
Pasar saham di seluruh dunia mengalami penurunan tajam, dengan beberapa indeks anjlok bahkan lebih buruk dibandingkan dengan 2020. Saat itu, dunia sedang dilanda pandemi Covid-19.
Lalu bagaimana dampaknya bagi transisi energi? Direktur Pelaksana Boston Consulting Group Bas Sudmeijer mengatakan hambatan tarif tersebut tak luput menerpa transisi energi.
“Apakah ini akan menjadi masalah bagi transisi energi? Tentu saja,” katanya, seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (7/4/2025).
Sejumlah ekonom dan lembaga riset banyak menerbitkan Indeks Ketidakpastian Kebijakan Ekonomi, yang hasilnya berada pada level tertinggi dalam beberapa dekade.
Indikasi tersebut juga mengkhawatirkan bagi sebagian besar proyek transisi energi, yang melibatkan investasi besar dalam infrastruktur yang membutuhkan pengembalian biaya dalam jangka panjang.
BloombergNEF pun menakar sejumlah dampak yang menerpa sektor bisnis yang fokus ke transisi energi.
Kebijakan Trump memberikan tarif yang relatif tinggi kepada negara negara Asia menjadi awan kelabu di tengah upaya kawasan mendorong pengembangan teknologi hijau dan bergantung pada ekspor energi bersih ke AS.
Seperti Kamboja misalnya, dengan tarif 49%, sementara Uni Eropa 20%. Tahun lalu, mengutip Bloomberg, Uni Eropa mengirimkan barang energi bersih senilai sekitar $25 miliar, sementara ekspor Kamboja yang hanya senilai $820 juta.
Namun, barang-barang energi bersih tersebut hanya menyumbang sekitar 1% dari total ekspor Uni Eropa ke AS, sementara mencapai 9% untuk Kamboja.
Selain itu, Lithium iron phosphate (LFP) sebagai baterai yang lebih disukai untuk baterai jaringan listrik, dan sebagian besar berasal dari China.
BloombergNEF memperkirakan bahwa tarif tambahan untuk impor dari China akan menyebabkan harga baterai penyimpanan meningkat 17,5% pada 2026, atau lebih tinggi dari kenaikan biaya yang seharusnya terjadi akibat keputusan tarif Presiden Joe Biden.
Source:hijau.bisnis.com